Ingat bebek, pasti ingat Ubud. Seolah-olah kuliner yang satu ini begitu lekat dengan imej desa seni bertaraf Internasional ini. Salah satu restoran bahkan sukses mengawini pesona alam Ubud dengan cita rasa bebek goreng yang kaya bumbu tradisional Bali tersebut. Adalah Bebek Tepi Sawah, sebuah brand restoran lokal Bali yang mampu mengantarkan menu bebek ke taraf yang lebih eksklusif.
Restoran yang berdiri sejak tahun 1999 in baru mencapai
popularitasnya di tahun 2000-an. Namanya pun kerap dibicarakan di tengah-tengah
forum pencinta kuliner serta jejaring sosial. Sebuah situs travel Internasional
terkemuka pun pernah merangking restoran ini di posisi pertama dalam kategori
restoran terbaik di Ubud. Bukan tanpa keistimewaan, justru Bebek Tepi Sawah
menghadirkan menu bebek goreng yang khas dari segi racikan bumbunya. Menu yang
terkenal dengan sebutan Bebek Tepi Sawah Crispy Duck tersebut amat renyah dan
garing saat dikunyah, Bebek Tepi Sawah seolah mematahkan imej daging bebek yang
dikenal rentan a lot tersebut.
Terlebih menu primadona dari restoran milik I Nyoman Sumerta
tersebut menggunakan bebek lokal Bali yang dikenal dengan dagingnya yang empuk
serta kualitas rasanya yang kuat. Demi menambah keunikan cita rasanya, di dalam
sepaket menu Bebek Tepi Sawah Crispy Duck pun disajikan tiga jenis sambal
yakni sambal matah, sambal goreng embe
Bali, dan sambal ulek. Apalagi santapan bebek ini juga disandingkan dengan
kenikmatan sayur kalasan kacang panjang ala Bali.
Di dalam perkembangannya, Bebek Tepi Sawah tak hanya
menawarkan si primadona ‘bebek goreng’ sebagai menu andalan, tetapi ada juga
beberapa varian hidangan mulai dari
tipikal western seperti pork ribs hingga seafood semisal ikan bakar. “Di
beberapa gerai seperti di Seminyak dan Tuban, kami juga menawarkan menu pasta
untuk menambah varian menu bagi turis asing di sana” ungkap I Nyoman Sumerta.
Sesuai dengan namanya Bebek Tepi Sawah, konsep restoran
dengan pemandangan sawah pun menjadi ikon kedua setelah hidangan bebeknya.
Arsitektur bangunannya pun didesain sendiri oleh I Nyoman Sumerta dengan konsep
yang sedemikian Bali; khas dengan bale-bale, gapura dan detil ornamen Bali.
Bahkan, Nyoman begitu sapaan akrab beliau mendirikan sebuah panggung terbuka
sehingga para pengunjung dapat dengan leluasanya menikmati pertunjukan tari dan
gamelan secara live di hari-hari tertentu. Di Bebek Tepi Sawah, pengunjung juga
dapat menikmati sebuah galeri seni milik Nyoman yang memajang ratusan lukisan
karyanya bersama rekan-rekan seniman.
Dengan lokasi restoran yang agak menjorok ke dalam dan tidak
terlalu mencolok dari luar, siapa sangka Bebek Tepi Sawah selalu ramai
dikunjungi para wisatawan dan penduduk lokal. Bahkan tamu-tamunya pun datang
dari kalangan selebriti hingga pejabat. Butuh sedikit perjuangan untuk
menyantap bebeknya yang populer, terutama di jam-jam makan siang.
——-
Meet The Owner, I
Nyoman Sumerta
Barangkali sedikit yang mengetahui otak di balik kesuksesan sebuah brand rumah makan lokal paling populer di Ubud sekaligus di Bali yang bernama khas Bebek Tepi Sawah itu. Adalah I Nyoman Sumerta, sesosok pria berdarah Ubud tersebut berhasil membangun ‘kerajaan’ kulinernya dari titik paling minus. Kesuksesan yang kini ia terima berkat ide revolusioner kuliner Bebek tepi Sawah tersebut sebanding dengan perjuangannya yang harus tertatih-tatih terlebih dahulu dalam mengeruk berbagai macam pengalaman hidup. Terlahir di sebuah keluarga kecil dan sederhana, Nyoman begitu sapaan akrabnya tak punya modal apalagi kekayaan yang melimpah. Semuanya ia bangun dengan kerja keras sedari remaja. Kini dengan omset ratusan juta setiap bulan dengan gerai-gerai yang berekspansi hingga ke luar daerah membuat suami dari seorang penari Bali, Ni Nyoman Sulasih ini mampu menjadi salah satu pengusaha kuliner Bali tersukses saat ini. Meski usaha kulinernya tersebut telah diwariskan pada kedua putranya, Putu Gede Suarsana dan Ketut Suarjaya, pria kelahiran 23 Februari 1957 ini tetap memantau perkembangan Bebek Tepi Sawah, bahkan berbagai macam ide dan rencana kedepan pun telah dipersiapkannya demi kemajuan restoran yang populer dengan hidangan bebek serta pemandangan sawahnya tersebut. Kepada Money & I Magazine, Nyoman pun mengutarakan rencana-rencanya tersebut sambil membagi sekelumit pengalaman hidupnya yang sangat inspiratif. Berikut petikan wawancaranya!
Bisa ceritakan bagaimana pengalaman-pengalaman hidup Anda
mampu berkontribusi penuh dalam membangun insting bisnis Anda saat ini?
Boleh dikata semua yang saya raih sekarang ini, salah
satunya berkat faktor orangtua. Dari kecil saya sudah akrab dengan yang namanya
berdagang. Waktu itu, saya sering bantu ibu yang kesehariannya memang berprofesi
sebagai seorang pedagang. Saya masih ingat bagaimana warung kami dulu itu kecil
sekali. Saya biasanya bantu beliau dengan menjual es-es lilin ke kantin
sekolah. Pernah juga jualan kacang hingga kopi. Kalau ibu sedang ke pasar,
pasti saya bantu beliau membawa belanjaannya seperti gula dan beras yang
berkilo-kilo itu. Menginjak remaja sekitar umur 14 tahun, saya mulai tuh
menawarkan jasa tukar dollar, dimana saat itu saya mesti bolak-balik
Ubud-Kintamani. Berbekal sepeda motor dari Ubud, saya bawa rupiah untuk
turis-turis yang ada di Kintamani. Belum habis sampai disitu, saya juga pernah
bantu jadi guide turis-turis yang mau keliling Bali. Biasanya saya dapat tamu
itu dari Puri Saren Ubud. Lantas pada tahun 1975, bapak saya coba pinjam uang
di Bank Budidaya agar bisa beli bemo. Saat itu harga bemo cukup mahal pada
zamannya sekitar Rp 2.725.000. Jam 4 pagi biasanya saya sudah bersiap-siap
untuk ‘nambang’ penumpang. Cari penumpang di Ubud, kemudian ngambil rute ke
Denpasar, dan bahkan ada yang sampai Padang Bai. Dan kira-kira tahun 1979, baru
saya merambah sebagai sopir taksi. Kalau tidak salah, itu bertahan hingga 2
tahun.
Apa yang dapat Anda petik dari sana?
Kehidupan yang mengajarkan saya untuk punya mimpi yang lebih
besar. Saya selalu menanamkan kerja keras dalam diri saya maupun kepada
anak-anak saya. Kerja keras tersebut juga harus dilandasi dengan bhakti
kepada-Nya. Selain itu, disiplin, respek dan menghargai kerja keras seseorang
serta mampu bekerja dengan ketulusan pasti niscaya akan diberi jalan untuk
meraih mimpi-mimpi besar yang telah lama kita perjuangkan tersebut. Dengan
menanamkan kejujuran saat kita melakukan sebuah tugas pasti orang-orang pun
menjadi respek dan percaya dengan kinerja kita. Inilah yang akan membuat kita
banyak disukai orang, sehingga akan memperluas daya networking kita sendiri.
Melihat dari rekam jejak Anda, usaha yang Anda pernah geluti terbilang banyak. Sebenarnya usaha apa yang menjadi fokus utama Anda?
Saya memang tipe orang yang suka mencoba hal-hal baru. Saya
pernah coba untuk usaha garmen bahkan hingga produksi wig sekalipun. Tapi kini,
saya lebih fokus dengan bisnis restoran, vila dan galeri saja.
Bagaimana sebenarnya ide Bebek tepi Sawah itu bisa tercetus?
Bebek Tepi Sawah ini dulunya hanya restoran kecil. Malah
belum ada yang namanya menu bebek crispy itu sebagai primadona seperti
sekarang. Kami dulu hanya menjual semacam kudapan ringan bagi tamu yang tengah
berkunjung ke galeri saya. Saat itu saya menjual kudapan alakadarnya seperti
jus, kopi, hingga pisang goreng. Hal itu saya lakukan demi menyokong pemasukan
untuk membayar gaji para karyawan galeri. Perlu diketahui, waktu itu lagi
zamannya krisis moneter, pasca kejatuhan soeharto, kunjungan wisatawan pun
anjlok secara drastis. Awal mula berdirinya Bebek Tepi Sawah itu sendiri juga
dilatarbelakangi oleh hobi saya yang doyan makan dan memasak, khususnya masakan
Bali. Di keluarga besar, mungkin hanya saya yang punya hasrat tinggi dalam
bidang kuliner.
DSC_2630Bagaimana Anda bisa menciptakan keotentikan dari
cita rasa Bebek Tepi Sawah itu sendiri?
Khusus untuk masakan Bali nya, seluruh racikannya merupakan
resep keluarga. Saya bukan seseorang yang suka meniru, jadi resep yang saya
coba sajikan disini pun merupakan hasil kreasi saya dan keluarga sendiri.
Karena saya orang Bali, sehingga saya tahu persis bagaimana standar lidah orang
Bali terhadap masakan saya.
Mengapa Anda memilih Bebek sebagai sajian utama?
Kenapa bebek? Ya simpel aja karena itu adalah makanan yang
saya suka. Rata-rata seluruh hidangan yang disajikan di Bebek Tepi Sawah adalah
makanan-makanan favorit yang sering saya santap. Begitu pun saat ada penambahan
menu untuk mix seafood maupun pork ribs, tidak hanya sebagai penarik perhatian
wisatawan asing melainkan juga berawal dari ketertarikan saya terhadap makanan
tersebut. Nah, kebetulan menu bebek ini yang memang sering dipesan oleh para
pengunjung.
Melihat lokasi Bebek Tepi Sawah yang cenderung menjorok ke
dalam hampir tidak terlihat mencolok diluar, terlebih lokasinya berada di jalur
yang bisa dikatakan jarang sukses ditempati oleh usaha rumah makan. Bagaimana
Anda bisa memaksimalkan potensi Bebek tepi Sawah?
Dulu saya sempat berpikir seperti itu. Lokasi bebek tepi
Sawah ini kan juga termasuk jalur pariwisata yang strategis karena selain
melewati Desa Mas dan Ubud, juga akan melalui Obyek Wisata Goa Gajah.
Prediksinya kan sudah pasti kunjungan wisatawan akan terus ramai. Tapi kok
tidak ada restoran lainnya selain Bebek Tepi Sawah yang masih bertahan. Nah
jawabannya sekali lagi terletak pada kekuatan networking itu sendiri. Karena
tidak bisa dipungkiri bahwa guide, sopir taksi dan rekanan itu pula yang
berkontribusi dalam mendatangkan pengunjung kemari. Selain itu saya juga
mengajarkan para karyawan bagaimana membangun hospitality yang baik di mata
para customer. Sehingga mampu mengangkat imej Bebek Tepi Sawah dan tanpa
ditunggu pun, pengunjung pun akan datang silih berganti.
Sebelumnya Anda sempat mengatakan juga fokus terhadap galeri
seni yang Anda kelola. Sejak kapan Anda tertarik dengan dunia seni?
Dari dulu saya memang sudah suka seni, mulai dari seni
lukis, patung hingga seni tari. Sederhananya begini, di saat anak-anak sebaya
saya biasanya pergi main ke sawah, saya justru malah lebih tertarik untuk
menikmati dan mempelajari seni itu sendiri. Bahkan di umur 8 tahun, saya sudah
mulai menikmati pertunjukan-pertunjukan tari dan gamelan di salah satu sanggar
di saerah Ubud. Telinga saya ini selalu terhipnotis tiap kali mendengar suara
gamelan. Begitu pula dengan melukis, saya belajar banyak dengan seniman-seniman
di daerah Pengosekan.
Jadi mana yang terlebih dahulu Anda cetuskan, usaha kuliner
atau galeri dan sanggar seni tersebut?
Sanggar Dewi Sri yang saya bina sekaligus art-gallery di
restoran ini bahkan sudah ada terlebih dahulu sebelum Bebek Tepi Sawah
didirikan. Ketertarikan saya yang berlebih terhadap dunia seni, selalu membuat
saya bermimpi untuk punya sanggar sendiri atau pun sebuah galeri seni.
Pertimbangan saya begini waktu itu; kebetulan saya memang bisa melukis dan
punya banyak teman yang juga pintar melukis, tidak ada salahnya untuk membuat
sebuah galeri seni pribadi. Kebetulan juga saya punya banyak kenalan guide yang
bisa membawa tamu-tamunya untuk berkunjung ke galeri saya. Bukankah ini juga
bisa jadi peluang bisnis?! Maka dengan berbekal modal pinjaman di Bank Budidaya
(kebetulan mereka punya program kredit investasi kecil) pada tahun 1981, saya pun
akhirnya mantap untuk membuka galeri seni pada
tahun 1989. Ada dua galeri saat itu yakni Soraya Gallery dan Sumerta
Gallery. Untuk sekarang yang masih bertahan hanya Sumerta Gallery, dimana kini
menampung hampir 1000 koleksi baik saya maupun koleksi beberapa rekan seniman.
Sanggar seni yang saya kelola tersebut seyogyanya mengemban misi mulia dalam
pelestarian kesenian Bali klasik, seperti fokus kami terhadap permainan gamelan
Semara Pegulingan serta Tari Legong.
DSC_2599Sebagai seorang pelukis, apakah Anda pernah ikut
turut serta dalam sebuah ajang pameran seni rupa di luar dari galeri seni yang
Anda miliki?
Pernah, beberapa kali sempat di Jakarta serta Hongkong dan
Singapura
Kembali lagi bicara tentang Bebek Tepi Sawah, apa
sesungguhnya kunci kesuksesan usaha kuliner Anda ini?
Seperti yang saya katakan sebelumnya, intinya adalah
networking. Saya itu tipikal orang yang gampang bergaul dengan siapapun.
Rekan-rekan mengenal saya sebagai pribadi yang ramah dan sopan. Bagaimana kita
mampu menjalin hubungan yang baik dengan para guide maupun sopir taksi. Karena
merekalah yang nantinya akan
mengantarkan sekaligus merekomendasikan kepada tamu-tamunya untuk singgah ke
Bebek Tepi Sawah. Maka dari itu kita tidak terlalu banyak menghabiskan biaya
untuk promosi. Saya percaya bahwa rekomendasi dari mulut ke mulut itu punya
kontribusi yang cukup kuat untuk Bebek Tepi Sawah. Jika bisa saya hubungkan
dengan ketertarikan saya terhadap seni, hal ini ternyata juga mampu membukakan
pintu bagi saya untuk membangun banyak relasi dengan orang-orang yang cukup
berpengaruh. Sehingga melalui networking tersebut terjalinlah pertemanan yang
ternyata juga berpengaruh terhadap perkembangan bisnis kuliner yang saya geluti
saat ini. Bisa saya contohkan juga seperti salah satunya saya pernah ikut serta
dalam pameran lukisan yang diselenggarakan oleh Yayasan Tiara Indah milik Bu
Tutut. Di sanalah, akhirnya saya mendapatkan banyak relasi dan membangun
pertemanan dengan orang-orang penting. Mereka pun tanpa segan menghubungi saya
kalau datang ke Bali. Jika mereka kemari, pasti saya selalu ajak untuk
mencicipi hidangan di restoran ini. Bahkan salah satu dari merekalah yang juga
memotivasi saya untuk fokus menekuni bisnis kuliner ini. Ya kembali lagi ke
kekuatan rekomendasi dari mulut ke mulut itulah yang membuat bisnis ini semakin
berkembang.
Apa target Anda ke depan untuk usaha kuliner maupun
usaha-usaha Anda lainnya?
Tidak cuma saya, siapapun pasti punya mimpi terbesar dalam
dirinya untuk menjadi seseorang yang sukses. Saya pun punya mimpi untuk
melebarkan sayap Bebek Tepi Sawah hingga ke seluruh Indonesia. Mei 2012 lalu,
Bebek Tepi Sawah telah sukses membuka gerai pertamanya di luar Bali yakni di
daerah Tangerang. Untuk tahun ini kami berencana membuka lagi di daerah Bangka
Belitung. Semuanya memang saya targetkan untuk dikelola secara franchise. Di
Bali sendiri, Bebek Tepi Sawah tidak hanya
bermain dalam lingkup Ubud saja, tetapi juga menyasar
wilayah Seminyak, Tuban dan sekaligus daerah Batu Belig. Selain fokus dengan
pengembangan Bebek Tepi Sawah, saya juga berencana menambah 26 villa lagi di
sini.
Teks: Putra Adnyana
Foto: Gus Baruna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar